Pajak QRIS: Penjelasan Ditjen Pajak Terkait PPN 12% pada Pembayaran QRIS

lumenus.id – Pada tahun 2024, salah satu kebijakan penting yang diperkenalkan oleh pemerintah Indonesia terkait dengan pembayaran digital adalah penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% pada transaksi yang menggunakan sistem pembayaran QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard). QRIS, yang memungkinkan masyarakat untuk melakukan transaksi non-tunai dengan mudah, kini menjadi sarana penting dalam sistem pembayaran digital di Indonesia. Namun, bagi banyak pelaku usaha dan konsumen, masih ada ketidakpastian terkait penerapan PPN pada transaksi QRIS ini. Artikel ini akan membahas penjelasan dari Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) mengenai kebijakan tersebut.

Apa Itu QRIS?

QRIS adalah standar kode QR yang dikembangkan oleh Bank Indonesia (BI) dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) untuk memfasilitasi pembayaran digital di Indonesia. Dengan QRIS, pelaku usaha dan konsumen dapat melakukan transaksi pembayaran tanpa harus khawatir tentang perbedaan aplikasi atau platform pembayaran. Pembayaran melalui QRIS semakin populer, terutama selama pandemi COVID-19, karena kemudahan dan keamanannya dalam melakukan pembayaran secara non-tunai.

Penerapan PPN 12% pada Transaksi QRIS

Seiring dengan semakin berkembangnya sistem pembayaran QRIS, pemerintah Indonesia melalui Ditjen Pajak memutuskan untuk menerapkan PPN 12% pada transaksi yang dilakukan menggunakan QRIS. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang diberlakukan sejak 1 April 2022, yang menyebutkan bahwa transaksi digital harus dikenakan PPN.

Penerapan PPN ini berlaku pada berbagai jenis transaksi, baik untuk barang maupun jasa, yang dilakukan melalui QRIS. Artinya, setiap transaksi yang melibatkan pembayaran menggunakan QRIS, baik itu oleh konsumen maupun pelaku usaha, wajib dikenakan PPN 12%. PPN ini akan dihitung berdasarkan harga barang atau jasa yang dibeli, dan pelaku usaha yang menerima pembayaran melalui QRIS wajib memungut dan menyetorkan PPN tersebut kepada negara.

Penjelasan Ditjen Pajak Terkait Penerapan PPN pada QRIS

Menurut Ditjen Pajak, PPN yang dikenakan pada transaksi QRIS ini tidak berbeda dengan penerapan PPN pada transaksi konvensional. PPN 12% tersebut menjadi bagian dari kewajiban pelaku usaha untuk memungut dan menyetorkan pajak yang terkait dengan transaksi penjualan barang dan/atau jasa. Ditjen Pajak juga menjelaskan bahwa, meskipun menggunakan platform digital atau QRIS, pelaku usaha tetap harus mematuhi kewajiban perpajakan yang berlaku.

Di sisi lain, bagi konsumen, PPN 12% akan menjadi bagian dari harga yang dibayar. Artinya, harga barang atau jasa yang dibeli melalui QRIS akan sudah termasuk PPN tersebut, dan konsumen tidak perlu membayar pajak secara terpisah. Dalam hal ini, pelaku usaha bertanggung jawab untuk memastikan bahwa mereka memungut PPN yang sesuai dengan ketentuan dan menyetorkannya kepada pemerintah.

Pengaruh Penerapan PPN pada QRIS bagi Pelaku Usaha

Bagi pelaku usaha, penerapan PPN 12% pada transaksi QRIS dapat memiliki beberapa implikasi. Pertama, pelaku usaha harus memastikan bahwa mereka terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), karena hanya PKP yang diwajibkan untuk memungut dan menyetorkan PPN. Bagi pelaku usaha yang belum terdaftar sebagai PKP, mereka tidak dapat memungut PPN dari konsumen, tetapi juga tidak dapat mengkreditkan pajak masukan yang mereka bayar atas pembelian barang atau jasa yang digunakan dalam usaha mereka.

Kedua, pelaku usaha harus mempersiapkan sistem pembayaran yang mendukung penghitungan dan pelaporan PPN dengan baik. Sistem pembayaran digital seperti QRIS seringkali terhubung langsung dengan aplikasi akuntansi atau software pajak yang dapat memudahkan perhitungan PPN dan pelaporan kepada Ditjen Pajak. Oleh karena itu, pelaku usaha perlu memastikan bahwa sistem yang digunakan sudah mendukung kebijakan perpajakan yang berlaku.

Manfaat Penerapan PPN pada QRIS

Penerapan PPN pada transaksi QRIS diharapkan dapat membawa berbagai manfaat bagi perekonomian Indonesia. Pertama, kebijakan ini akan meningkatkan kepatuhan perpajakan di sektor digital, yang selama ini masih memiliki tantangan dalam hal pemungutan dan pelaporan pajak. Kedua, dengan memperluas basis pajak, pemerintah dapat meningkatkan pendapatan negara yang digunakan untuk membiayai berbagai program pembangunan.

Selain itu, dengan semakin banyaknya pelaku usaha yang terlibat dalam sistem pembayaran QRIS, penerapan PPN ini juga akan mendorong pelaku usaha untuk lebih profesional dalam mengelola kewajiban perpajakan mereka. Ini juga dapat mempercepat digitalisasi ekonomi Indonesia yang semakin penting di era globalisasi.

Kesimpulan

Penerapan PPN 12% pada transaksi QRIS adalah langkah penting dalam menyelaraskan sektor pembayaran digital dengan regulasi perpajakan di Indonesia. Ditjen Pajak memberikan penjelasan yang jelas tentang kewajiban pelaku usaha dan konsumen terkait pajak ini. Dengan pemahaman yang tepat, pelaku usaha dapat mematuhi kewajiban pajaknya, sementara konsumen tetap mendapatkan kemudahan dalam bertransaksi secara digital. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan perpajakan dan memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan.

Related posts